Jalan Gajah



Laki-laki dan perempuan itu berjalan bersama-sama melewati jalan Gajah. Seperti kebanyakan pasangan muda yang masih malu-malu, mereka berjalan tanpa bergandengan tangan. Ada sekitar 20 cm ruang kosong antara bahu mereka. Terdengar suara tawa dari mulut si perempuan dan teriakan kecil dari mulut si laki-laki. Si perempuan menertawakan kelakuan si laki-laki dan si laki-laki meminta si perempuan segera berhenti menertawakannya. Wajah si laki-laki sudah merah apel.
“Udah sih, udah….” Kata si laki-laki. Laki-laki itu berusaha meraih wajah si wanita untuk menutup mulut si wanita dengan tangannya yang besar. Si wanita menghindar kemudian menutupi wajahnya dengan tangannya.
Laki-laki itu menikmati saat-saat kebersamaan dengan perempuan itu. Baginya, perempuan yang terpaksa harus dia panggil kakak itu lebih dari sekedar kakak. Dia ingin lebih, tapi paham bahwa perempuan itu akan menanyainya tentang perasaannya dan kemana perasaannya akan berujung. Laki-laki itu paham bahwa dia belum bisa memberikan ujung yang pasti kepada perempuan itu.
Mereka terperangkap dalam hubungan ini bertahun-tahun. Si perempuan sudah menjadi milik orang lain, orang yang mampu memberikan garis ujung yang pasti kepadanya. Beberapa jam lalu, pria itu meminta perempuan lain yang sudah mengejarnya sejak lama untuk menjadi kekasihnya. Seorang perempuan lain yang bisa diajak kompromi soal garis ujung yang pasti.
Sore ini, laki-laki itu hendak menanyakan apakah tindakannya beberapa jam lalu itu dapat merubah pandangan si perempuan itu padanya. Laki-laki itu berharap bahwa perempuan itu akan merasa kehilangan, memandangnya sebagai seorang pria. Lalu mereka bisa bersama. Tapi apakah ini adil untuk kekasih barunya? Apakah perempuan ini akan menerima perasaannya dan memintanya putus saja dengan kekasih barunya? Laki-laki itu menangkap tangan si perempuan. Kemudian otot-otot di tubuhnya lemas. “Kau tahu hari ini nggak akan pernah ada lagi?”
“Apa? Kau? Kau harusnya manggil aku kakak.” Kata si perempuan. Mengoreksi kata-kata yang baru saja keluar dari mulut si laki-laki. Tangan si perempuan itu masih digenggam oleh laki-laki itu. Tawa perempuan itu lama kelamaan reda. Dia tahu ada yang berbeda. Laki-laki itu menggenggam tangannya dengan erat.
Perempuan itu paham, laki-laki di sampingnya bukan lagi adik kelas yang suka mengintilinya kemana pun dia pergi. Laki-laki di sampingnya sedang berusaha mengatakan sesuatu yang penting. Laki-laki itu seperti akan mengucapkan selamat tinggal kepadanya.
“Kenapa kau?” Tanya si perempuan. Hanya pertanyaan itu yang mampu diucapkan oleh mulut perempuan itu. Perempuan itu tidak berani menanyakan mengapa laki-laki itu menggenggam tangannya erat.
“Hhhh….” Laki-laki itu menghela nafas. “Kakak jangan buat aku menyesal.” Katanya sambil menarik ujung bibirnya, memaksa otot di wajahnya untuk memberikan senyum. Laki-laki itu menggenggam dengan lebih erat kemudian melepaskan tangan perempuan itu.
Laki-laki itu akan tetap menjadi seorang laki-laki di mata perempuan itu. Laki-laki itu tahu bahwa perempuan di sampingnya ini paham maksudnya melalui genggamanya tadi. Tapi perempuan itu tetap mengelak. Perempuan itu menolaknya, lagi.
Laki-laki dan perempuan itu berjalan bersama melintasi jalan Gajah. Tidak ada percakapan dan tawa lagi. Jarak yang bahu mereka masih 20 cm. Tapi hati mereka jauh tidak terjangkau satu sama lain. Mereka selesai mengucap selamat tinggal.

Comments