Arryath

Aku teringat perjumpaanku dengan seorang anak lelaki dengan rambut hitam ikal dan kulit gelap. Meskipun kulitnya gelap, dia begitu bersih dan dia mempunyai senyum yang manis. Bagiku dia mirip seperti Jacob Black di film Twilight. Seperti seorang pemuda Indian dengan tatapan bersahabat dan menenangkan. Aku juga masih ingat pertama kali aku bertemu dengannya, 3 Agustus 2011. Seperti tanggal yang sakral, aku mengingat tanggal itu, juga namamu; Arryath.

 
***                 
Itu adalah hari pertamaku mengajar di kelasmu. Pertama kalinya aku masuk ke sebuah kelas dengan siswa yang nyata, bukan mahasiswa microteaching yang dibuat pura-pura blo’on. Tapi kalian cerdas, terlalu cerdas untuk anak seusia kalian.                 
Di hari pertama aku bertemu denganmu, kau mengacuhkanku, sama seperti anak-anak lain yang menganggap guru hanya sebatas pajangan di kelas. Lalu aku mulai mencari cara bagaimana agar konsentrasimu dan perhatian kelas tertuju padaku. Saat itu aku bilang, i insist!                
 Aku mulai bercerita tentang Adam dan Hawa. Kau sedang asyik bermain bola saat semua temanmu sedang membuat lingkaran dan mendengarkan ceritaku dengan seksama. Lalu akhirnya kau berhenti bermain bola, menatapku lalu mendorong teman-temanmu hingga kuhentikan ceritaku sebentar.             
“Duduk sini, Nak!” Kataku padamu. Aku tahu kau mulai tertarik pada ceritaku, tapi kau malu untuk mengakuinya. Jadi aku mengajakmu duduk di sampingku. Kau pun duduk tepat di sampingku dan mendengarkan ceritaku.                 
Aku melanjutkan cerita tentang turunnya Adam karena godaan Iblis. Kau menyela dengan rentetan pertanyaanmu tentang mengapa Tuhan tidak memaafkan Adam dan membiarkan Adam tinggal di surga? Mengapa Adam tidak menangis dan memohon-mohon di depan Tuhan? Mengapa Tuhan tidak menghukum Iblis?                 
Teman-temanmu mulai kesal. Mereka lalu menyorakimu dan kau mulai hyperactive lagi. Aku berusaha sekuat tenaga lagi untuk membuat kelas kembali diam dan melanjutkan ceritaku. Aku sedang asyik bercerita saat kau bicara padaku.                 
“Bu, saya mau nyandar yah di bahu Ibu.” Katamu padaku. Lalu anak-anak yang lain mulai menyandarkan tubuhnya padaku dan yang lainnya tidur-tiduran sambil mendengarkan ceritaku. Ya, aku merasa pandai dalam bercerita. Aku sendiri aneh ketika guru Bahasa Indonesia-ku di SD memberiku nilai 6 di materi bercerita.                 
Seminggu bukan waktu yang sebentar. Aku mulai mengingat namamu dan aku menjelma menjadi seorang guru seperti yang ada di buku panduan microteaching. Aku tidak lagi naik gunung, aku tidak lagi pakai jaket belel dan sendal gunung. Aku juga tidak memakai tas carrier untuk pergi mengajar.      
Aku berhenti mengajar di kelasmu saat aku mulai mengajar di kelas baru lagi yang sesuai dengan keahlianku di bidang Biologi. Kau yang baik hati selalu menawarkan membawakan buku, laptop, tas, bahkan mengantarku ke ruang PPL. Kau juga yang ramah selalu menyapaku setiap pagi dan menanyakan di mana aku akan mengajar dan apa yang akan kuajarkan.                 
Suatu ketika, kau memaksa untuk membawakan buku dan laptopku. Mengantarku hingga aku sampai di mejaku di ruang PPL. Teman-temanku memuji betapa baiknya dirimu dan betapa ramahnya dirimu. Aku pun berterimakasih padamu. Lalu kau bilang untuk tidak sungkan menyuruhmu membawakan barang-barangku. Aku hanya mengangguk saja. Kau semakin sering membawakan buku-bukuku hingga akhirnya kau pun memulai sebuah percakapan singkat.                 
“Bu, umur Ibu berapa?”                 
“Dua puluh.” Jawabku singkat.                
“Wah, ternyata jauh yah dari umur saya.” Katamu. Kuperkirakan saat itu umurmu baru 13 tahun, dan aku yakin itu tepat. Kakiku berhenti di depan ruang PPL.                 
“Ibu, saya suka sama Ibu.” Katamu. Teman-temanku yang keluar dari ruang PPL kemudian berhenti saat mendengar kau mengucapkan kata-kata itu.         “Makasih yah, Arryath.” Jawabku sambil tersenyum. Aku mengambil buku-bukuku di tanganmu yang seolah membeku. Kau membalikkan tubuhmu dan berjalan kembali ke kelasmu.

“Itu anak apa-apaan?” Tanya temanku padaku.                 
“Bercanda.” Sahutku.                 
Keesokan harinya, aku kembali mengajar ke kelas yang sama. Aku bertemu denganmu lagi. Aku bilang bahwa kau tak perlu membawakan buku-bukuku tapi saat itu mulutmu bungkam dan langsung merebut laptop dan buku di tanganku. Selama perjalanan, kau diam. Sepertinya kau sudah hafal jadwal mengajarku. Kau berhenti di depan kelas tempat aku mengajar. Saat itu aku mengucapkan terimakasih padamu dan mengambil buku dan laptopku di tanganmu. Aku masuk ke dalam kelas dan menutup pintu. Kau masih berdiri di sana, seolah menunggu sesuatu. Tapi aku tetap menutup pintu dan mulai mengajar. Setelah beberapa menit mengajar, aku membuka pintu kelas lagi, aku takut kau masih menunggu di depan pintu. Namun kau lebih pintar dari dugaanku, kau sudah tidak ada.                 
Hari-hari setelah itu. Kau tak lagi menyapaku. Kau tak lagi mau mencium tanganku seperti teman-temanmu dan kau mengacuhkanku di antara teman-teman guruku. Saat semua temanmu menghampiriku dan mengajakku bicara, kau yang satu-satunya duduk dan menundukan wajah dalam-dalam. Kadang kau malah melenggang pergi tanpa permisi.                 
Entah apa yang sedang kau pikirkan. Sudah tiga bulan sejak kau mendiamkanku. Rasanya aneh ketika aku seolah dimusuhi oleh muridku. Mungkin benar katamu, aku terlalu muda untuk menjadi ibumu dan dipanggil Ibu.                 
Senin kemarin, terakhir kalinya aku bertemu denganmu. Kau masih menunduk dan enggan menyapaku. Bahkan melihatku pun kau tak mau. Aku mengucapkan selamat tinggal pada setiap kelas yang pernah kuajar. Dan saat aku melewati kelasmu lagi, kau duduk sendiri di depan kelasmu masih menunduk.                 
Aku berdiri di hadapanmu beberapa detik dan mengucapkan selamat tinggal dalam hatiku padamu. Lalu pergi ke ruang guru dan meninggalkan sekolah ini. Itu adalah terakhir kalinya aku bertemu denganmu, Arryath.                 
Kau mengingatkanku pada seseorang, pada akhirnya, Arryath. Dia juga pernah suka padaku. Lalu berubah sangat membenciku hanya karena aku tidak memiliki perasaan seperti perasaannya padaku. Tapi aku memaklumi sikapmu, Arryath, kau adalah anak berusia 13 tahun yang baru menemukan sosok wanita yang kau kira sepadan untukmu. Sayangnya kita bukan Yuni Shara dan Raffi Ahmad. Aku bukan Yuni Shara dan kau bukan Raffi Ahmad. Kita tak hidup dalam dunia gemerlap yang bertabur sorot kamera. Tapi aku hidup dalam dunia kertas. Maka disinilah semuanya bermula dan berakhir, di kertas ini.                 
Aku yakin akan mengingat tiap kejadian itu seperti semuanya baru terjadi kemarin. Dan kau mungkin akan segera lupa karena hidupmu masih panjang dan pencarianmu pada rasa cinta belum menemui akhir sepertiku. 
***                 
Aku berdiri di depanmu. Berharap dalam dua detik wajahmu akan menengadah dan tersenyum lagi untuk terakhir kalinya untukku. Dua detik terlalu singkat. Dan waktu terus berjalan. “Sampai jumpa, Arryath.” Kataku sambil berjalan meninggalkannya. Melewati tangga dan lapangan basket. Meninggalkan semua kenangan menggelitik selama hampir 5 bulan di sekolah ini. Aku tahu dia sedang ingin membuatku menyesal, sayangnya dia tak belajar bahwa aku adalah orang yang sudah tidak bisa merasakan sesal. Lalu hujan datang, seolah menghapus aku dalam ingatanmu. Atau, justru menenggelamkan kenangan tentangku lebih jauh dari ingatanmu? Tidakkah kau lupa untuk memimpikanku malam ini?



Comments